TEMA : PENDERITAAN MENGIKUT TUHAN
Nats Khotbah : Matitus 16:1-24
PENDAHULUAN
Penderitaan
yang disebabkan oleh penganiayaan karena agama bukanlah pengalaman yang asing
bagi gereja.Sejak abad-abad pertama bahkan pada sepanjang zaman, banyak orang
Kristen telah menderita hanya karena mereka adalah orang Kristen.Penganiayaan
terhadap orang Kristen berkaitan dengan kesalahpahaman tentang
Kekristenan.Banyak orang non-Kristen belum melupakan masa lalu ketika
Kekristenan bertumbuh dan tersebar luas di bawah kolonialisme dan
imperialisme.Hingga kini, para misionaris Kristen dianggap sebagai perusak
kebudayaan-kebudayaan pribumi.Dalam artikel ini saya tidak bermaksud menguji
anggapan-anggapan ini, dan menurut saya juga tidak ada gunanya untuk
menyangkalnya.
Penganiayaan terhadap orang Kristen saat ini jauh lebih komplikatif dari yang disadari kebanyakan orang. Pemikiran bahwa karena orang Kristen berbagian dalam gerakan-gerakan nasional dan pertumbuhan Kekristenan di kalangan penduduk pribumi dunia ketiga yang fenomenal belakangan ini akan serta-merta menyingkirkan ancaman terhadap Kekristenan, menurut saya, adalah pemikiran yang naif. Sementara gereja seharusnya berjuang keras untuk menghindari kesalahan pada masa lampau dan ikut serta secara positif dan konstruktif dalam membangun bangsa, harus disadari bahwa penderitaan adalah bagian dari eksistensi gereja, dan penderitaan bukanlah pengalaman yang asing dalam kehidupan gereja (1Ptr.4:12).
Penganiayaan terhadap orang Kristen saat ini jauh lebih komplikatif dari yang disadari kebanyakan orang. Pemikiran bahwa karena orang Kristen berbagian dalam gerakan-gerakan nasional dan pertumbuhan Kekristenan di kalangan penduduk pribumi dunia ketiga yang fenomenal belakangan ini akan serta-merta menyingkirkan ancaman terhadap Kekristenan, menurut saya, adalah pemikiran yang naif. Sementara gereja seharusnya berjuang keras untuk menghindari kesalahan pada masa lampau dan ikut serta secara positif dan konstruktif dalam membangun bangsa, harus disadari bahwa penderitaan adalah bagian dari eksistensi gereja, dan penderitaan bukanlah pengalaman yang asing dalam kehidupan gereja (1Ptr.4:12).
Saat ini, penganiayaan terhadap orang Kristen telah menarik
perhatian luas dan dianggap sebagai malaise global. Kesadaran yang bertumbuh
tentang penganiayaan terhadap orang Kristen sebagian besar disebabkan oleh
usaha-usaha Paul Marshall,1 yang telah mendokumentasikan problem di banyak
negara dan menyajikannya sehingga memperoleh perhatian publik. Jika kita
melihat statistik dan kasus-kasus penganiayaan yang terjadi tampaklah bahwa
problem ini benar-benar serius.Figur-figur dan studi-studi kasus tidak berarti
apa-apa bagi mereka yang hidup dalam suasana tenang dan damai, namun bagi
banyak orang Kristen di dunia ketiga penganiayaan adalah realitas
sehari-hari.Karena intensitas problem dan lingkupnya yang global, saya
beranggapan bahwa penganiayaan terhadap orang Kristen adalah salah satu konteks
di mana gereja—bukan hanya gereja yang secara langsung terkena dampak
penganiayaan, tetapi seluruh gereja yang universal—seharusnya merefleksikan
hidup dan penggilannya. Kita sering mendengar tentang berubahnya konteks misi:
globalisasi, postmodernisme, pergeseran geografis Kekristenan ke dunia
non-Barat, dan sebagainya. Penganiayaan terhadap orang Kristen adalah salah
satu konteks yang tidak boleh diabaikan gereja lebih lama lagi jika gereja
ingin tetap setia pada firman Allah dan peka akan karya-Nya di dunia.
Dalam artikel ini saya mencoba memberikan beberapa refleksi tentang
pengalaman penderitaan gereja yang diakibatkan oleh penganiayaan. Saya memilih
1 Petrus karena saya yakin situasi penerima surat ini pada saat itu serupa
dengan situasi gereja sekarang. Dalam 1 Petrus firman Allah berbicara tentang
perjuangan gereja dalam menjalani kehidupan dan kesaksiannya dalam lingkungan
yang bermusuhan. Saya percaya pesan 1 Petrus tidak saja dapat menguatkan gereja
saat ini dalam menahan penganiayaan, tetapi juga dapat memperdalam pemahaman
gereja tentang dirinya sendiri, hidup dan panggilannya.
Penderitaan bukanlah keadaan ideal yang harus dikejar oleh orang
Kristen atau sesuatu yang harus diterima secara pasif, tetapi juga bukan bagian
yang asing dalam kehidupan rohani. Surat 1 Petrus jelas mengenai hal ini,
“Saudara-saudara yang kekasih, janganlah kamu heran akan nyala api siksaan yang
datang kepadamu sebagai ujian, seolah-olah ada sesuatu yang luar biasa terjadi
atas kamu” (4:12).Kita sedang berurusan dengan realitas yang merupakan bagian
dari kehidupan Kristen, serta memahami bagaimana penderitaan dapat mencapai
tujuan Allah. Saya tidak mengusulkan penerimaan yang pasif terhadap nasib
tragis seseorang karena itu akan membuat kehidupan menjadi tidak bermakna.
Berita 1 Petrus cukup sederhana: Gereja dipanggil untuk taat dan setia kepada
Allah bahkan di tengah lingkungan yang memusuhinya, supaya melalui ketaatan dan
kesetiaannya itu Allah menyempurnakan tujuan-Nya. Dalam pemahaman inilah
penderitaan dikaitkan dengan kesaksian gereja.Penderitaan Kristen yang
berkaitan dengan kesaksian gereja merupakan tema refleksi dalam artikel ini.
Dengan perkataan lain, yang ingin kita refleksikan adalah kehidupan gereja
dalam lingkungan yang bermusuhan dilihat dari perspektif kesaksian atau
misiologis. Misiologi dalam pengertian luas berkaitan dengan, antara lain, kesaksian
gereja melalui perkataan dan perbuatan dalam konteks di mana ia berada.
Ada sejumlah pendekatan hermeneutik untuk tema penderitaan dalam 1
Petrus. Dalam artikel ini saya menyajikan dua di antaranya: liturgikal (cultic)
dan etikal (paraenetic). Studi-studi yang mewakili pendekatan-pendekatan
tersebut disajikan dalam artikel ini karena dianggap memiliki implikasi
misiologis di dalamnya. Setelah memaparkan kedua pendekatan tersebut, dengan
cara eksegesis, saya akan menelaah penderitaan dari sudut pandang kesaksian
gereja. Ini akan melengkapi dua pendekatan yang didiskusikan sebelumnya dan
melampaui gagasan tentang penderitaan dari perspektif liturgi dan etis.
BAPTISAN DAN PENDERITAAN: SEBUAH INTERPRETASI LITURGIKAL
BAPTISAN DAN PENDERITAAN: SEBUAH INTERPRETASI LITURGIKAL
Studi yang menunjukkan tentang penderitaan dalam 1 Petrus dilakukan
oleh F. L. Cross.3 Karyanya menggambarkan interpretasi cultic atau liturgikal
yang menempatkan 1 Petrus sebagai baptismal homily atau liturgi. Ia
berpandangan bahwa, berdasar pada metode kritik, referensi untuk penderitaan dalam
1 Petrus tidak mengacu pada penganiayaan yang aktual tetapi pada penggabungan
orang percaya dengan Kristus secara liturgikal sehingga bisa dikatakan orang
tersebut telah menderita bersama Kristus, dan dengan demikian telah memulai
satu kehidupan baru yang bebas dari dosa. Cross yakin bahwa 1 Petrus adalah
karya pertama yang diselipkan dalam tradisi yang menghubungkan baptisan dengan
penderitaan dalam pengertian dipersatukan dalam Kristus.
Studi yang dilakukan oleh Cross telah melahirkan banyak perdebatan.
Saya hanya akan menyebutkan beberapa studi yang menghubungkan baptisan dengan
penderitaan dan yang memiliki implikasi-implikasi misiologis. C. F. D. Moule
sependapat bahwa 1 Petrus berhubungan dengan baptisan namun ia tidak yakin
bagian ini merupakan sebuah liturgi. Bagi Moule, yang mengikuti pendekatan
kritik sastra, genre 1 Petrus adalah epistolaris dengan dua bentuk surat di
dalamnya. Surat pertama (2:11-4:11) ditujukan kepada komunitas yang belum
berada di bawah penganiayaan, sedangkan surat kedua (4:12-5:11) adalah bagi
mereka yang berada dalam “api pemurnian.”4 Ia tidak menerima pandangan Cross
bahwa penderitaan hanya sekadar penggabungan liturgikal ke dalam Kristus di
dalam baptisan. Di sinilah penulis 1 Petrus berbeda dengan Paulus (bdk.Rm. 6).Kendati
demikian, Moule sependapat dengan Cross bahwa ada kongruitas antara tema
baptisan dan penderitaan.“Penderitaan dihubungkan dengan baptisan (melalui
baptisan Kristus, yakni salib-Nya) dan baptisan merupakan sebuah ringkasan
doktrin penderitaan Kristen.
Pemikiran dan kehidupan Kristen menerima ciri baptisan dalam konteks
penganiayaan.6 Ini berarti, dalam menanggapi penganiayaan gereja dan anggotanya
harus mengingat akan baptisan mereka. Baptisan adalah inisiasi mereka ke dalam
penderitaan Kristus dan sebagaimana akan kita lihat nanti, pengalaman
penderitaan mereka adalah sebuah partisipasi dalam penderitaan Kristus.Kritik
yang lebih serius terhadap tesis Cross dilontarkan oleh T. C. G. Thornton,7 L.
Goppelt,8 dan D. Hill.9 Thornton cuma mengangkat pentanyaan-pertanyaan kritik
bentuk sehubungan dengan natur liturgikal dan paschal 1 Petrus, sedangkan
Goppelt mempertanyakan asumsi-asumsi hipotesa kritik bentuk. Goppelt percaya
adanya perkembangan pikiran dalam surat tersebut yang mengikuti dua ide kunci yang
berkaitan satu dengan yang lain, yaitu relasi antara orang Kristen dan
masyarakat, dan pemuridan sebagai penderitaan. Hill menolak gagasan 1 Petrus
sebagai liturgi baptisan, sebuah pandangan yang baginya nyaris memalukan karena
hanya satu kali kata “baptisan” disebut dalam surat ini (3:21), dan disebutkan
dalam pernyataan yang sebenarnya parentesis.10 Andaikata 1 Petrus secara
langsung berbicara tentang penderitaan, menurut Hill, tema baptisan seharusnya
dikaitkan dengan tema penderitaan, “in such a way as to give unity and cogency
to the author’s message of encouragement.”11 Ia menemukan bahwa hipotesa Cross
dan Moule tidak memadai dan juga ide bahwa referensi tentang penderitaan yang
mungkin atau perlu, dan tentang sikap Kristen yang tepat tercakup dalam
instruksi prabaptisan. Hill menyatakan pandangannya tentang relasi antara
baptisan dan penderitaan demikian,
The link between baptism and suffering (such as would befall
Christians in a hostile environment) may be accounted for simply and adequately
by assuming that, since baptism was the occasion and the sign of voluntary
self-commitment to the Christian way, those who offered themselves for the rite
were aware, through their knowledge of what Christians endured, that this way
on which they were embarking would inevitably involve suffering. In short, a
Christian’s suffering and his baptism are linked because, in accepting baptism,
he is affirming willingness to share in the known experience of baptized
persons who were commonly, if not constantly, treated with suspicion and
hostility.12
Sebagai ringkasan bagian ini, jelas bahwa 1 Petrus, seperti kata
Hill, tidak berbicara tentang baptisan sebagai partisipasi dalam penderitaan
Kristus. Ide tentang baptisan sebagai partisipasi dalam Kristus terutama sekali
merupakan ide Paulus, dan Cross mungkin telah dipengaruhi oleh Paulus.Namun, 1
Petrus berbicara tentang penderitaan sebagai partisipasi dalam penderitaan
Kristus (4:12, 13). Jadi, baptisan dalam surat Paulus dan penderitaan dalam 1
Petrus keduanya dipandang sebagai partisipasi dalam Kristus, yang membuat saya
cenderung sependapat dengan Moule mengenai kongruitas antara tema baptismal dan
penderitaan dalam 1 Petrus.
Sependapat dengan Hill, pada sisi lain, saya tidak menganggap 1
Petrus sebagai dokumen baptismal.Kendati demikian, beritanya mungkin
dimaksudkan bagi orang-orang Kristen yang telah dibaptis untuk mengingatkan
bahwa penderitaan mereka merupakan partisipasi dalam penderitaan Kristus yang
ke dalamnya mereka telah diinisiasikan pada saat pembaptisan.Dalam 1 Petrus
baptisan cuma diasumsikan dan penderitaan masa sekarang, sedikit banyak,
merupakan penggenapan pengalaman baptismal. Jika kita menarik implikasi
misiologis dari relasi antara baptisan dan penderitaan, dapatdikatakan bahwa
baptisan merupakan kesaksian awal komitmen seorang Kristen kepada Kristus dan
kesiapsediaannya, seperti pendapat Hill, untuk berbagi pengalaman dengan
orang-orang yang telah menderita karena iman mereka.
KEHIDUPAN KRISTEN DI TENGAH PENDERITAAN: SEBUAH INTERPRETASI ETIKAL
KEHIDUPAN KRISTEN DI TENGAH PENDERITAAN: SEBUAH INTERPRETASI ETIKAL
Sekarang saya akan membahas tema penderitaan melalui pendekatan
hermeneutikal yang sering disebut paraenetic, dan menarik beberapa implikasi
misiologis. Paraenesis mengacu pada sebuah genre sastra yang terdiri dari
bermacam-macam instruksi moral praktis yang ditujukan pada perubahan perilaku
audiensi.13 Saya lebih tertarik pada dasar atau motivasi desakan dan nasihat
etikal dalam 1 Petrus khususnya yang memiliki hubungan dengan penderitaan.
E. G. Selwyn14 adalah salah seorang ekseget awal terkenal yang menganggap surat
ini sebagai dokumen paraenetic atau etis. Kemudian, W. C. van Unnik15
mengusahakan pendekatan yang sama dan meneliti etika dalam surat ini. Unnik
yakin bahwa agathopoien (melakukan yang baik) adalah kata kunci dalam 1
Petrus.Ia meneliti pemahaman Yunani-Romawi, Yahudi dan Kristen tentang kata
ini, kemudian menetapkan yang mana dari pemahamannya yang dimaksud dalam 1
Petrus. Ia menyimpulkan bahwa konsepsi agathopoien dalam 1 Petrus berkaitan
erat dengan pemahaman Yunani-Romawi, kecuali dasar dan tujuannya. Dalam 1
Petrus dasar untuk melakukan yang baik adalah panggilan Allah bukan kebaikan
manusia.Tujuannya bukanlah untuk memperoleh kemuliaan bagi diri sendiri
melainkan membuka jalan bagi Injil guna menjangkau orang yang belum percaya.16
Paralel antara tuntutan etis Kristen dan ajaran moral Yunani-Romawi sangat
menyolok.Namun, aspek misiologis etika Kristen adalah yang menarik perhatian
kita dalam studi Unnik.Aspek misiologis inilah yang membuat tuntutan etika
Kristen menjadi unik.
Studi menarik dilakukan oleh D. L. Balch yang mencermati aturan
rumah tangga dalam 1 Petrus yang mengatur perilaku para istri, suami, anak-anak
dan para hamba (2:13-3:7).17 Balch berpendapat bahwa penganiayaan yang
diasumsikan dalam surat ini bersumber dari kritisisme dalam masyarakat, bukan
karena tuntutan agar orang Kristen menyembah kaisar. Ia melihat bahwa dalam
masyarakat Romawi dan Yunani, adat istiadat agama dan sosial tidak dapat
dipisahkan. Dengan demikian, kapan pun Yudaisme atau Kekristenan memproselitkan
dan mengubah kebiasaan-kebiasaan para petobat baru, mereka dituduh telah
mengkorupsi dan memutarbalikkan adat istiadat sosial dan rumah tangga
Romawi.Pertobatan religius ini merupakan sumber fitnahan tentang insubordinasi
para hamba dan istri Kristen.18 Dalam konteks ini, Balch menjelaskan aturan
rumah tangga di 1 Petrus.Ia mengatakan bahwa penulis 1 Petrus mendesak penerima
suratnya untuk berperilaku sesuai dengan yang diuraikan dalam aturan tersebut
dengan tujuan agar berbesar hati, hal ini bertentangan dengan fitnahan orang
Roma. Orang Kristen diperintahkan untuk memberikan “pembelaan kepada siapa pun
yang bertanya,” yang artinya orang Kristen dapat memperlihatkan kepada
orang-orang di luar, bahkan kepada pemerintah, bahwa konstitusi atau aturan
rumah tangga mereka tetap peduli untuk memelihara konstitusi Romawi (2:14).
Menurut Balch, “Orang Kristen mengklaim bahwa adat istiadat mereka tidak akan
menumbangkan konstitusi Romawi meskipun hamba-hamba Kristen dan para istri
menolak untuk menyembah dewa-dewa Romawi.
J. Ramsey Michaels melihat bahwa motivasi “melakukan yang baik”
bersifat eskatologis, yakni, “keselamatan bagi orang kafir dan kemuliaan bagi
Allah pada akhir zaman.”20 Dalam 1 Petrus 2:12 penekanannya adalah pada
panggilan misionaris gereja. Menurut Michaels, meskipun umat Allah difitnah
mereka tetap berharap agar para pemfitnah itu dapat “terbuka matanya” dan
dengan demikian “memuliakan Allah pada hari Ia melawat mereka.”21 Tema dari 1
Petrus 3:17 yang menjadi fokus eksegesis Michael adalah penderitaan gereja dan
keyakinan bahwa Allah pada akhirnya akan menegakkan orang benar dan menghukum
orang jahat. Studi yang dilakukan J. Holdsworth, pada sisi lain, menyelidiki
kemungkinan bahwa penderitaan memiliki ciri eskatologis yang biasanya lebih
berkaitan dengan tulisan-tulisan apokaliptik.Ia meneliti kata peirasmos
(pencobaan), lupeo (berduka cita), dokimazo (memukul), makrothumia (penderitaan
panjang) dan purosis (pencobaan yang berapi-api) di dalam kerangka kerja
apokaliptik. Yang signifikan dalam penyelidikan Holdsworth adalah ia
menghubungkan wahyu dengan theologi misionaris:
The prevailing view is that apocalypses are produced when a clash
occurs between the powers of this world and the faithful—to assure them of
vindication in a specific political situation. In 1 Peter (and not exclusively
there) we see the basic elements of a missionary theology which sees a
constant, ongoing and necessary disjunction and struggle between powers
antipathetic to the Gospel, and the Gospel itself. The language of what we might
call “political apocalyptic” is congenial to this missionary theology and the
main purpose of political apocalyptic, that is to produce a theodicy, is also
appropriate to the ongoing mission situation in which it provides a kind of
theodicy or mission rationale in terms of the universality of God and his having
a purpose for his people.
Studi penting yang menghubungkan 1 Petrus dengan PL dilakukan oleh
F. W. Danker.23 Teks-teks PL yang relevan (dari LXX hingga Gulungan-gulungan
Laut Mati) diselidiki dan dibandingkan dengan perikop penghiburan, 1 Petrus
1:24-2:17. Dari analisis Danker, jelas bahwa penulis 1 Petrus memberikan
penekanan kuat pada kenyataan bahwa komunitas yang baru (gereja) merupakan
kesinambungan yang otentik dari Israel Perjanjian Lama. Nada penghiburan dalam
1 Petrus terletak pada fakta bahwa seluruh kutipan dari PL (Mzm. 33; 117; Ams.
24; Yes. 40; 43; Hos. 1; 2) meneguhkan pelepasan dari penderitaan dan
kesengsaraan. Namun, berkaitan dengan penderitaan, Danker yakin ada perbedaan
antara Israel dan umat Allah yang baru. Ia mengatakan, In the case of the OT
Israel, sufferings were often viewed as the result of disobedience and Israel’s
validity as God’s people was called into question. The sufferings of the new
community, on the other hand, come not because of disobedience but in spite of
obedience.
Bagian ini dapat dirangkum demikian: ada sedikitnya tiga cara untuk
melihat paraenesis atau etis dalam 1 Petrus, yaitu melalui paralel
Yunani-Romawinya (Unnik dan Balch), melalui orientasi eskatologisnya (Michaels
dan Holdsworth), dan melalui latar belakang PL-nya (Danker). Akan lebih baik
jika melihat 1 Petrus melalui ketiga pendekatan ini secara sekaligus. Semua
studi yang telah kita pelajari bersifat saling melengkapi satu dengan yang lain
dan semuanya menyampaikan makna pesan etis surat 1 Petrus secara lebih
sempurna. Dari studi-studi ini kita memiliki sejumlah motivasi untuk tingkah
laku Kristen dalam lingkungan yang bermusuhan: berbagi kemuliaan Kristus
(Unnik), pembelaan terhadap fitnah (Balch), keyakinan dalam pembenaran akhir
Allah (Michaels), alasan rasional untuk misi (Holdsworth), dan ke-khas-an umat
Allah yang baru (Danker). Kita dapat melihat bahwa semua motivasi ini memiliki
nilai misionaris dan semuanya dimaksudkan guna mendorong para pembaca surat
untuk berdiri teguh dan kudus karena Dia yang memanggil mereka adalah kudus
(1:15). Di tengah-tengah permusuhan yang mereka alami mereka harus
terus-menerus melakukan pekerjaan baik kepada yang lain: “sehingga mereka dapat
melihat perbuatanmu yang baik dan memuliakan Allah ketika Ia datang untuk
menghakimi” (2:12). Dengan kata lain, etika Kristen yang dilakukan bahkan di
tengah lingkungan yang memusuhi orang Kristen, dapat menarik orang kepada
Kristus.
Beberapa komentar terhadap pandangan Michaels dan Danker perlu
dikemukakan sebelum kita mengakhiri bagian ini. Meskipun saya setuju dengan
perspektif mendasar mereka, namun menurut saya mereka mengabaikan beberapa
aspek pewahyuan yang penting.Michaels cenderung melihat eskatologi sekadar sebagai
masa mendatang dengan penekanan yang terlalu banyak pada pembelaan akhir.
Memang benar bahwa konteks seluruh 1 Petrus, dan sebenarnya seluruh PB, adalah
eskatologis. Namun eschaton itu juga adalah masa sekarang; masa yang akan
datang atau kerajaan Allah telah datang pada masa sekarang ini. Motivasi untuk
kehidupan Kristen di tengah penderitaan tidak hanya bertumpu pada apa yang
Allah akan lakukan pada masa mendatang tetapi juga pada apa yang telah dan
sedang Ia lakukan melalui dan di dalam Kristus. Seperti F. Sleeper mengatakan,
“Ethics is the task of conforming Christian behavior to the prior activity of
God.”25 Danker, pada sisi lain, secara tepat menempatkan latar belakang PL dari
1 Petrus, namun saya rasa kontras antara Israel PL dan Israel baru yang ia
sampaikan cukup simplistis. Agak simplistis bila kita katakan bahwa Israel
menderita karena ketidaktaatannya saja, sedangkan penderitaan gereja adalah
karena ketaatan.Kita dapat menemukan contoh-contoh di PL di mana orang benar
menderita. Namun, entah penderitaan itu diakibatkan oleh ketidaktaatan atau
karena ketaatan, sering kali hal itu terjadi karena ada kaitan dengan
bangsa-bangsa lain. Allah Israel dan gereja adalah juga Allah semua
bangsa.Dalam memperlakukan umat-Nya, baik melalui berkat maupun penghakiman-Nya,
Allah ingin memperlihatkan kemuliaan-Nya kepada segala bangsa.
PENDERITAAN DAN KESAKSIAN
PENDERITAAN DAN KESAKSIAN
Saya telah berusaha menarik implikasi misiologis dari relasi antara
baptisan dan penderitaan, dan etika dan penderitaan.Baptisan adalah kesaksian
awal kita dalam penderitaan Kristus yang ke dalamnya kita diinisiasikan, dan
kesiapsediaan kita untuk menderita bersama-sama orang percaya lainnya.Etika
Kristen yang dilaksanakan dalam lingkungan yang bermusuhan dapat memberikan
dampak evangelistik.Baik baptisan maupun etika Kristen dapat memiliki nilai
kesaksian.Apa yang ingin saya lakukan dalam sisa artikel ini adalah melihat
penderitaan gereja dari sudut pandang kesaksian. Pertanyaan yang akan saya coba
jawab adalah, bagaimana penderitaan bisa menjadi satu bentuk kesaksian gereja
kepada dunia? Tema yang akan saya kembangkan adalah bahwa dalam kasus-kasus
tertentu di mana gereja berada dalam situasi yang bermusuhan, pengalaman
penderitaannya dapat membuat kehidupannya menjadi kesaksian yang efektif kepada
dunia. Di dalam dan dari dirinya sendirilah, bukan penderitaan ataupun
aktivitasnya, gereja dapat menjadi sebuah kesaksian.
Dengan setia kepada identitasnya yang sejati di tengah situasi yang
bermusuhan itulah gereja dapat berbicara kepada dunia. Dengan kata lain,
biarlah gereja tetap gereja ketika ia memberi respons kepada situasi apa pun
yang ia temukan. Tiga aspek kehidupan gereja yang dapat menjadi kesaksian
sehubungan dengan penderitaan adalah: ibadah, melakukan yang baik, dan
pemuridan. Pertama-tama saya akan melakukan survei umum tentang penggunaan kata
“penderitaan” dan kata terkait lainnya. Survei ini akan berfungsi sebagai
konteks di mana saya akan mengamati doksologi, moralitas dan pemuridan yang
berkaitan dengan penderitaan dan kesaksian.
Penelitian ini tidak dilakukan secara mendalam dan paling banyak
hanya merupakan sebuah refleksi atas tema yang sangat penting ini. Jelas bahwa
penderitaan adalah tema utama dalam surat Petrus. Baik kata kerja pascho
(menderita) maupun kata benda pathema (penderitaan) ditemukan lebih banyak
dalam surat ini dibanding kitab PB lainnya (secara berurutan 12/41 dan 4/10).
Di samping itu, ada kata-kata yang berhubungan yang telah ditunjukkan
sebelumnya, seperti peirasmos, lupeo, makrothumia dan sebagainya.Pascho mengacu
baik kepada penderitaan orang Kristen maupun kepada penderitaan Kristus, tetapi
lebih sering digunakan dalam pengertian kedua, yakni Kristus telah menderita
bagi kita.Pathema hampir semata-mata digunakan untuk penderitaan Kristus dan
kadang-kadang mengacu pada kematian-Nya.
Penderitaan Kristus adalah teladan kelemahlembutan yang perlu
dicontoh oleh orang percaya ketika mereka berbuat baik dan menderita di tengah
ketidakadilan (2:19 dst.), menjadi teladan keberanian dan jaminan kemenangan
(3:18), dan juga dasar untuk tidak terus-menerus hidup di dalam dosa (4:1).
Pada sisi lain, penderitaan Kristen patut mendapat pujian ketika: ia melakukan
perbuatan baik (2:19, 20); penderitaan itu merupakan sebuah panggilan (2:21);
membuat seseorang diberkati karena melakukan apa yang benar (3:14); pengalaman
yang lebih baik jika itu adalah kehendak Allah, daripada melakukan yang jahat
(3:17), dan seharusnya penderitaan membuat umat Allah menyerahkan diri mereka
sendiri kepada Allah (4:19); penderitaan adalah partisipasi dalam penderitaan
Kristus jika seseorang menderita karena ia Kristen dan bukan karena ia
melakukan yang jahat (4:15, 16); penderitaan memimpin kepada pemulihan,
kekuatan, keteguhan dan ketabahan (5:10). Saya akan mengembangkan beberapa
tema, namun survei umum penggunaan kata pascho dan pathema memberikan kita satu
pengertian tentang keindahan dan nilai penderitaan.
Ada sesuatu yang paradoksial tentang status penerima surat 1 Petrus.
Mereka memiliki status terhormat di hadapan Allah tetapi dianiaya sebagai orang
asing dan pendatang.26 Mereka adalah umat pilihan Allah (1:1, 2; 2:29), imamat
yang rajani, bangsa yang kudus, umat kepunyaan Allah (2:9).Mereka telah
dilahirkan (angennesas) ke dalam pengharapan yang hidup (1:3), dibangun menjadi
rumah rohani (oikos pneumatikos) untuk suatu keimaman yang kudus (ieratuma
hagion, 2:5).Betapa istimewanya posisi yang mereka miliki, namun mereka tidak
memiliki hak dan privilese sebagai orang asing dan pendatang. Mereka mengalami
semua jenis pencobaan (1:6); dituduh melakukan yang salah (2:12); yang menjadi
budak di antara mereka menerima pukulan (2:20); perilaku mereka yang baik
dibicarakan dengan kedengkian (3:16); diperlakukan kejam (4:4); dinista karena
nama Kristus (4:14). Paradoksnya: mereka sangat dikasihi Allah tetapi mereka
menderita. Di sepanjang zaman pertanyaan yang sering terlintas dalam benak kita
adalah, mengapa orang benar menderita?Dalam 1 Petrus kita tidak diberikan
sebuah jawaban filosofis yang apik.Apa yang kita lihat dalam surat ini adalah
sebuah dorongan semangat untuk berdiri teguh dan melaksanakan tugas yang Allah
percayakan kepada gereja karena melaluinya kemuliaan Allah dinyatakan. Ibadah
(1:3-9), berbuat baik (2:21-25) dan pemuridan (4:12-19) adalah tiga elemen
kehidupan gereja yang dalam konteks penderitaan dapat berbicara kepada
orang-orang non-Kristen.
PENDERITAAN DAN IBADAH (1:3-9)
PENDERITAAN DAN IBADAH (1:3-9)
Perikop pertama yang akan saya teliti dibuka dengan doksologi:
“Terpujilah Allah dan Bapa Tuhan kita Yesus Kristus!” Baik kata pascho maupun
pathema tidak terdapat di sini, namun ide tentang penderitaan hadir melalui
frase lupethentes en poikilois peirasmois (yang telah didukakan oleh berbagai
pencobaan). Di sini ada paralel yang jelas dengan Yakobus 1:2, 3, khususnya
yang berkaitan dengan ujian iman. Kata kerja lupethentes menunjukkan efek
pencobaan-pencobaan itu dan agaknya, di dalamnya terlibat kekacauan emosional.
Apakah pencobaan-pencobaan itu benar-benar terjadi atau sekadar ancaman, mereka
bisa tetap bersukacita mengingat apa yang telah diberikan Bapa kepada mereka, yaitu
kelahiran baru ke dalam pengharapan yang hidup yang dimungkinkan melalui
kebangkitan Kristus, dan ke dalam warisan kekal yang terpelihara di sorga bagi
mereka. Berkat-berkat rohani ini tidak dimaksudkan untuk menolong mereka
melupakan penderitaan, namun semuanya itu adalah bagian dari arus sejarah
penebusan yang akan mencapai puncaknya pada waktu penyataan Kristus, yaitu pada
waktu mereka yang imannya murni akan memuji dan memuliakan Dia (1:7).
Namun, bagi orang Kristen, apa pun keadaan mereka saat ini mereka
dapat memuji Allah terutama karena apa yang telah Ia lakukan bagi mereka (1:3,
4. 8). Bentuk present indicative (agalliasthe) menunjukkan bahwa sukacita
mereka adalah sebuah pengalaman aktual saat ini. Yang lebih signifikan dalam
perikop ini ialah kata ganti relatif en ho (in this). Pertanyaannya, di dalam
apa (en ho) orang Kristen bersukacita? Ada tiga kemungkinan jawabannya:
pertama, orang Kristen bersukacita di dalam Allah dan Bapa Yesus Kristus (theos
kai pater Iesous Christos, 1:3). Kedua, pada akhir zaman (kairo eschato, 1:5),
atau, ketiga, dalam semua hal yang disebutkan di ayat 3-5, yakni kemurahan
Allah, kelahiran baru, pengharapan yang hidup, warisan yang tidak dapat binasa,
perlindungan Allah dan seterusnya. Para sarjana cenderung memilih satu
kemungkinan daripada yang lain, namun saya bertanya-tanya, bukankah ketiga hal
ini merupakan satu realitas di mana orang Kristen benar-benar bersukacita. Kita
tidak dapat memisahkan berkat-berkat yang terdapat di ayat 3-5 (jawaban ketiga)
dari Allah dan Bapa Tuhan Yesus Kristus (jawaban pertama).Dalam PL adalah satu
kebiasaan untuk memuji Tuhan atas semua kebaikan-Nya (Mzm. 103:2).Berkaitan
dengan akhir zaman (jawaban kedua), bukankah ini adalah kulminasi karya Allah
untuk umat-Nya (jawaban ketiga), dengan demikian kemungkinan kedua dan ketiga
sebenarnya hanya satu? Seperti pendapat F. W. Beare, “The kairo eschato may be
better taken as neuter attached in a general way to the whole thought of the
preceding sentence, that is to say, this regeneration with all the benefits and
glorious prospects to which it leads.”27 Kalau memang demikian, orang Kristen
bersukacita dalam semua yang telah Allah lakukan bagi mereka dan mereka akan
tetap bersukacita hingga akhir zaman.
Keputusasaan yang mungkin ditimbulkan oleh penderitaan dapat diatasi
oleh sukacita karena berkat-berkat ini.Ide tentang kesaksian dalam perikop ini
tampaknya tidak ada, namun memuji Allah dan bersukacita di tengah penderitaan
dapat menjadi satu kesaksian yang efektif bagi orang-orang yang mungkin
terkesan oleh bukti pengharapan yang ditunjukkan oleh orang Kristen pada wajah
mereka. Dalam pengharapan inilah orang Kristen bersukacita: “Dengan
kemurahan-Nya yang besar Ia telah memberikan kita kelahiran baru ke dalam pengharapan
yang hidup melalui kebangkitan Yesus Kristus” (1:3b). Pengharapan yang
menyukakan ini dapat menimbulkan rasa ingin tahu pada diri orang-orang luar
sehingga mereka menanyakan alasan pengharapan yang mereka miliki.Untuk
pertanyaan inilah mereka harus siap sedia untuk menjawabnya (3:15).
PENDERITAAN DAN PANGGILAN UNTUK BERBUAT BAIK (2:21-25)
PENDERITAAN DAN PANGGILAN UNTUK BERBUAT BAIK (2:21-25)
Perikop ini berbicara tentang panggilan dan menyebut kata
“menderita” paling sedikit 2 kali, yang mengacu terutama pada penderitaan
Kristus. Tesis yang ingin saya ajukan melalui penjelasan perikop 1 Petrus
2:21-25 ini bersama dengan konteksnya adalah: penderitaan bukanlah sebuah
pengalaman yang diterima orang Kristen secara pasif; penderitaan bukan sejenis
karma yang buruk atau nasib malang sehingga seseorang tidak memiliki pilihan
lain. Kita dipanggil untuk berbuat baik bahkan di tengah situasi yang memusuhi
kita.Berbuat baik kepada “musuh-musuh” adalah panggilan yang mungkin Allah
gunakan untuk mencapai kehendak-Nya. Saya akan mengembangkannya dengan membahas
frase eis touto gar eklethete (karena untuk inilah kamu dipanggil, 2:21; bdk.
3:9).
Konteks dekat dari perikop ini adalah nasihat yang diberikan kepada
hamba-hamba di 2:18 dan seterusnya untuk tunduk kepada tuan mereka. Untuk
memahami lebih baik bahwa sikap Kristen terhadap penderitaan bukanlah
penerimaan secara pasif namun lebih merupakan sebuah tindakan positif yang
baik, kita perlu membaca kembali semuanya mulai dari 1:13 hingga 3:22. Dalam
perikop 1:13-25 para pembaca surat dinasihati untuk hidup kudus dan melakukan
semua yang termasuk dalam kehidupan yang baik. Perikop 2:1-12 adalah bagian
yang signifikan dari 1 Petrus dan menggambarkan gereja sebagai umat Allah yang
baru dan implikasi kesaksian dari identitas tersebut dalam kehidupan mereka
sehari-hari: “Milikilah cara hidup yang baik di tengah-tengah bangsa-bangsa
bukan Yahudi, supaya apabila mereka memfitnah kamu sebagai orang durjana,
mereka dapat melihatnya dari perbuatan-perbuatanmu yang baik dan memuliakan
Allah pada hari Ia melawat mereka” (2:12). Kemudian dalam perikop tentang
tunduk kepada para penguasa dan tuan (2:13-25) di mana perikop yang akan kita
amati lebih teliti merupakan bagiannya, kita sebaiknya melihat bahwa jenis
tunduk yang Petrus anjurkan untuk dilakukan para pembaca suratnya bukanlah
suatu sikap pasif.
Salah satu unsur utama dari desakan itu berkaitan dengan tindakan
positif: melakukan apa yang benar (2:14), berbuat baik untuk membungkamkan
perkataan bodoh orang-orang bebal (2:15, 20), hidup sebagai orang-orang benar
yang merdeka, bertolak belakang dengan kebebasan sebagai selubung untuk
perbuatan jahat (2:16), sadar akan Allah (2:19). Juga, tunduk kepada otoritas
manusia tidaklah mutlak; sikap ini dibatasi oleh takut akan Allah (2:17).
Akhirnya, perikop 3:8-22 berbicara tentang penderitaan karena berbuat baik. Ini
memperkuat pandangan kita bahwa berbuat baik adalah respons yang tepat terhadap
situasi yang bermusuhan atau terhadap kondisi di mana orang Kristen menjadi
subjek otoritas manusia, di mana keduanya dapat menyebabkan penderitaan.Berbuat
baik tidak hanya dikaitkan dengan penderitaan tetapi juga merupakan sebuah
panggilan yang sesungguhnya di tengah-tengah permusuhan.1 Petrus 2:21 dan 3:9
mengatakan, “karena untuk inilah kamu dipanggil” (eis touto gar eklethete).
Jika kita menghubungkan frase ini dengan konteks sastra di sekitarnya seperti
yang telah kita lakukan sebelumnya, maka kita harus menafsirkan “karena untuk
inilah” mengacu pada berbuat baik yang menjadi panggilan bagi orang Kristen di
tengah penderitaan. Jika demikian maka panggilan kita bukanlah untuk lemah
lembut dan sabar dalam menanggung penderitaan yang tidak seharusnya kita
tanggung,28 atau daya tahan kesabaran ketika menderita karena ketidakadilan,29
atau sekadar menderita saja.30 Tidak satu pun dari pandangan ini yang memberi
secara serius penekanan 1 Petrus tentang berbuat baik secara aktif. Mereka
semua cenderung pada sikap pasif atau menerima penderitaan tanpa kualifikasi.
Interpretasi G. R. Osborne terhadap teks ini lebih tepat.Ia
mencurahkan perhatiannya untuk menulis artikel lengkap tentang 1 Petrus 2:21-25
dan mengakui pengaruh Yesaya 53 di balik perikop ini. Menurutnya, eis touto gar
eklethete mengacu pada “perseverance in correct action in the face of unjust
suffering. It is incorrect to state that the Christians have been called to
suffer.”31 Orang Kristen dipanggil untuk berbuat baik atau bertindak tepat yang
di dalam konteks penderitaan menuntut adanya daya tahan.Pandangan ini didukung
oleh beberapa penafsir. Menurut Bigg, eis touto gar (2:21a) benar-benar mengacu
pada ei agathopoiountes kai paschontas hupomeneite (2:20b, jika kamu berbuat
baik dan menahan penderitaan). Eis touto pada ayat 21a cocok dengan touto di
20b, yang mengacu pada klausa kondisional sebelumnya (berbuat baik dan
bertahan).Jadi, menurut Goppelt, orang Kristen dipanggil untuk memelihara
tingkah laku yang benar di tengah penderitaan.
Penekanan 1 Petrus adalah berbuat baik di tengah penderitaan.Untuk berbuat baik itulah kita dipanggil. Alasan Allah memanggil umat-Nya dengan cara ini ialah karena Kristus telah menderita demi kepentingan mereka dan meninggalkan teladan yang harus diikuti (2:21). Kata huper (demi kepentinganmu) menunjukkan karakter penderitaan Kristus yang dilakukan demi kepentingan orang lain. Penderitaan Kristus bagi manusia ialah motif utama untuk mengikuti contoh-Nya dalam hal berbuat baik kepada semua orang.Berbuat baik di tengah penderitaan merefleksikan penderitaan Kristus yang menjadi teladan bagi orang Kristen, dengan demikian, dalam pengertian ini menjadi kesaksian bagi karya salib Kristus.
Penekanan 1 Petrus adalah berbuat baik di tengah penderitaan.Untuk berbuat baik itulah kita dipanggil. Alasan Allah memanggil umat-Nya dengan cara ini ialah karena Kristus telah menderita demi kepentingan mereka dan meninggalkan teladan yang harus diikuti (2:21). Kata huper (demi kepentinganmu) menunjukkan karakter penderitaan Kristus yang dilakukan demi kepentingan orang lain. Penderitaan Kristus bagi manusia ialah motif utama untuk mengikuti contoh-Nya dalam hal berbuat baik kepada semua orang.Berbuat baik di tengah penderitaan merefleksikan penderitaan Kristus yang menjadi teladan bagi orang Kristen, dengan demikian, dalam pengertian ini menjadi kesaksian bagi karya salib Kristus.
PENDERITAAN SEBAGAI PEMURIDAN SALIB
(4:12-19)
Ada tradisi penderitaan Kristen yang jelas yang Petrus asumsikan
dalam perikop 4:12-19 ini. Ia mungkin berpikir tentang hamba-hamba Allah, baik
para nabi di PL dan juga para rasul di PB, semuanya menderita pengalaman
serupa. Mungkin ia memikirkan penderitaan Kristus di mana ia sendiri telah
menjadi saksinya. Yang paling mungkin ia mengingat ajaran Yesus tentang
penderitaan dan dianiaya karena nama-Nya (Mat. 5:11, 12; 16:24).Jadi, Petrus
dapat menasihati orang-orang percaya agar tidak dikejutkan oleh pengalaman
menyakitkan yang sedang mereka lalui (4:12). Penderitaan adalah partisipasi
dalam penderitaan Kristus (4:13) apabila mereka menderita karena nama Kristus
(4:14) atau karena mereka adalah orang Kristen (4:16). Mereka seharusnya jangan
merasa malu menyandang identitas mereka sebagai orang Kristen, alih-alih mereka
seharusnya memuji Allah.Cranfield memberikan komentar menarik ketika mengatakan
bahwa seharusnya yang mengejutkan adalah jika orang Kristen tidak dianiaya,
“for their very existence is an affront to human self-centeredness.
Perikop kita mengatakan bahwa penderitaan Kristen adalah partisipasi
dalam penderitaan Kristus: koinoneite tois tou Christou pathemasin. Amati
penggunaan kata koinoneite yang darinya berasal kata koinonia, yang berarti
“persekutuan.”Penderitaan orang Kristen adalah persekutuan dalam penderitaan
Kristus.Bagaimana kita seharusnya memahami persekutuan dalam penderitaan
Kristus ini?Apakah itu berarti berbagi secara mistis dalam penderitaan
Kristus?Ataukah berbagi dalam kesengsaraan mesianis? Best menerima yang kedua
seperti kebanyakan penafsiran yang berkaitan dengan pengharapan mesianis
Yahudi. Banyak penafsir mungkin akan menolak ide mistis yang asing bagi 1
Petrus. Persekutuan mistis dengan Kristus terutama sekali merupakan ide Paulus
(2Kor. 1:5; 4:10; Flp. 3:10; Kol. 1:24) meskipun sudah tentu tidak inkompatibel
dengan ide tentang pemuridan salib, yang merupakan pemahaman saya tentang
penderitaan orang Kristen sebagai persekutuan dengan penderitaan Kristus.35
Pada dasarnya saya mengikuti posisi banyak penafsir bahwa penderitaan Kristen
dalam hal berbagi atau bersekutu dengan penderitaan Kristus berarti mengikuti
Kristus dalam pemuridan.36 Penafsiran ini lebih sesuai dengan yang telah saya
bahas tentang berbuat baik di tengah penderitaan, yang pada kenyataannya
merupakan salah satu cara pemuridan. Ide tentang pemuridan sesuai dengan ajaran
sinoptik tentang menyangkal diri sendiri, memikul salib dan mengikut Kristus
(Mat. 16:24-26; Mrk. 8:34-37; Luk. 9:23-25; bdk. Yoh. 12:23-26).
Pemuridan atau mengikuti Kristus itu sendiri adalah sebuah
kesaksian. Semua yang dilakukan orang percaya (Kristen) untuk Kristus adalah,
sedikit banyak, sebuah bentuk kesaksian pada dunia. Jika ini bukan kesaksian,
mengapa harus ada reaksi yang demikian jelas, bahkan suatu reaksi dalam cara
yang bermusuhan? Ayat 14 dan 16 berbunyi: “jika engkau dinista karena nama
Kristus . . . jika kamu menderita sebagai seorang Kristen, janganlah malu,
tetapi pujilah Allah karena engkau menanggungnya.” Ada kesaksian implisit dalam
ayat-ayat ini.Orang Kristen bukanlah orang yang bersembunyi di balik jubah
anonim ketika berada di bawah tekanan. Mereka menyandang nama Kristus dan
identitas mereka sebagai orang Kristen terbuka sehingga bisa dilihat oleh siapa
pun. Karena nama Kristus dan identitas Kristenlah mereka menderita. Dalam
penderitaan ini mereka mengikuti jejak langkah Kristus, dan karena itu, mereka
berpartisipasi dalam penderitaan-Nya.
KESIMPULAN
Penderitaan itu sendiri bukanlah sebuah kesaksian.Ketaatan kepada Allah
di tengah-tengah penderitaan adalah sebuah kesaksian, sesungguhnya, sebuah
kesaksian yang mengesankan.“Darah para martir adalah benih gereja.”Ini berarti
tidak ada satu pun yang dapat benar-benar mengintimidasi gereja dari ibadahnya,
dari berbuat baik dan mengikut Kristus.Kesaksian gereja dalam lingkungan yang
bermusuhan secara sederhana berarti kesetiaan pada identitasnya dan menjalani
kehidupannya sebagaimana yang dijabarkan oleh firman Allah. Bukan penganiayaan
yang akan menghancurkan gereja, tetapi mengkompromikan kebenaran Injil dan
melakukan perselingkuhan dengan dunia yang cemarlah gereja akan menghancurkan
dirinya sendiri. Namun, meskipun penderitaan tidak dapat dihindari, gereja
harus bersikap bijak dalam berurusan dengan orang-orang yang tidak percaya dan
supaya penganiayaan dapat
No comments:
Post a Comment