BAB I
PENDAHULUAN
Ibadah nampaknya sama tuanya dengan manusia. Pasal-pasal awal kitab Kejadian
menyatakan tentang kurban yang dipersembahkan oleh Kain, Habel dan Nuh. Kain
dan Habel mempersembahkan kurban sebagai respons kepada Allah atas segala
kebaikan-Nya, dengan memberi berkat melalui ternak dan tanah. Kurban Nuh adalah
merupakan suatu pemberian kepada Allah yang telah menyelamatkan dari kematian.
Tidak dapat disangkal bahwa ibadah
memegang peranan sentral dalam semua agama-agama di dunia ini. Tanpa ibadah,
suatu agama akan kehilangan hakekatnya. Melalui ibadah manusia mengadakan
hubungan vertikal dengan yang ilahi dan mewujudkan nilai-nilai rohaninya dalam
kehidupan bersama (horisontal). Jadi idealnya, ibadah menjadi ciri dimana
manusia hidup dalam relasi yang benar dengan Allah dan dengan sesamanya. Tetapi
dalam praktek hidup keberagaman rupanya ada kecenderungan bahwa ibadah itu
dipahami secara sempit, bahkan dapat dikatakan mengalami degradasi nilai dan
berakibat pada dekadensi moral. Ibadah hanya dipahami secara ritual atau dalam
hubungan dengan upacara-upacara keagamaan yang kadang-kadang lebih bersifat
formal dan legalistis. Ibadah hanya berlaku dalam wilayah tempat-tempat suci
tertentu, tidak mencakupi wilayah kehidupan sehari-hari. Atau ibadah hanya
dimengerti sebagai perkara-perkara rohani saja, terpisah dari perkara-perkara
jasmani. Tidak mengherankan bahwa ada kesenjangan antara iman dan perbuatan,
antara hal-hal rohani dan hal-hal jasmani, antara kesalehan dan tingkah laku,
antara ajaran dan etika hidup dan lain-lain semacamnya. Semua masalah yang
muncul di dunia ini sepanjang sejarahnya, ketegangan-ketegangan politik atau
ketegangan antar bangsa atau golongan, konflik-konflik sosial, masalah-masalah
moral dan kriminal, konflik-konflik internal/domestik (dalam keluarga atau
komunitas-komunitas kecil) dan sebagainya, semuanya itu merupakan indikasi
tentang pemahaman yang sempit dan praktek-praktek ibadah yang biasa (ibadah
tidak dipahami dan dihayati secara benar dan utuh) dan akhirnya bermuara pada
degradasi iman dan krisis moral.
Lalu bagaimana kita, apakah ibadah itu
sesungguhnya? Orientasi secara umum tentang pemahaman,penghayatan, dan praktek
ibadah dalam kesaksian
Alkitab Perjanjian Lama akan menolong kita untuk mengerti dan memaknai ibadah
itu secara benar dan utuh.
BAB II
I B A D A H
1.
PENGERTIAN
Kata ibadah sebenarnya berasal dari kosa kata “äbodah”
(bahasa Ibrani) atau ibadah (bahasa Arab) yang secara harafiah
berarti bakti, hormat, penghormatan (homage) , suatu
“sikap dan aktivitas“ yang mengakui dan menghargai seseorang (atau yang ilahi).
Atau dapat juga dikatakan suatu penghormatan hidup yang mencakup kesalehan
(yang diatur dalam suatu tatacara), yang implikasinya nampak dalam tingkah laku
dan aktivitas kehidupan sehari-hari. Jadi ibadah disini merupakan
ekspresi dan sikap hidup yang penuh bhakti (penyerahan diri) kepada yang ilahi,
yang pengaruhnya nampak dalam tingkah laku yang benar. Dalam kesaksian Alkitab
ada beberapa kata atau ungkapan yang dipakai untuk ibadah. Kata kerja äbad (Bahasa
Ibrani) berarti melayani atau mengabdi (seperti pengabdian/pelayanan yang utuh
dari seorang hamba kepada tuannya). Sedangkan kata àbodah
(bahasa Ibrani), latria (bahasa Yunani) berarti pelayan atau bisa juga
berarti pemujaan dan pemuliaan. Disamping itu kita juga
bertemu dengan kata histaaweh (proskuneo
;bahasa Yunani) yang berarti sujud
atau membungkuk atau meniarap dihadapan tuannya. Jadi
sebenarnya ada dua kata kunci dalam pengertian ibadah itu, yaitu sikap hormat
(pemuliaan) dan pelayanan (sikap hidup).
Dari
pengertian beberapa ungkapan di atas, menjadi jelas bahwa konsep dasar dari
ibadah adalah pelayanan atau pengabdian seutuhnya kepada Allah, yang dinyatakan
baik dalam bentuk penyembahan (kultus) maupun dalam tingkah laku atau tabiat
(jadi bukan hanya menyangkut hal-hal ritual yang bersifat formal legalistis).
2. IBADAH PERJANJIAN LAMA
Pada awalnya kita menemukan adanya ibadah atau persembahan
pribadi kepada Allah (Kej. 4:4 Habel memberikan persembahan kepada Tuhan ;
lihat pula, Kel. 24:26). Hal itu menunjukkan bahwa pada dasarnya ibadah adalah
merupakan ungkapan bathin seseorang yang mengakui bahwa Allah berdaulat, penuh
kuasa dan baik. Atau ibadah adalah menunjukkan ketinggian spritual seseorang
yang disertai ungkapan pujian dan syukur kepada Tuhan, karena Ia patut disembah
(bd. Ayub 1:20 ; Yos. 5 :14). Harus dipahami bahwa Allah kita adalah Allah yang
transenden dan imanen. Allah yang “tidak sama dan terpisah dari ciptaanNya”
juga merupakan Allah yang berkomunikasi dengan umat manusia. Allah menerima
penyembahan dari umat-Nya.
Pada waktu Allah memilih suatu bangsa
bagi diri-Nya, Allah juga memberikan cara bagaimana bangsa itu dapat bertemu
dengan TUHAN; jadi Dia memberikan ibadah tabernakel di mana Israel dapat
menghadap Allah yang mahakudus. Di tempat ini TUHAN akan bertemu dengan Israel
(Kel. 25:22; 29:42, 43; 30:6, 36).
Kemudian, pelaksanaan ibadah itu
berkembang menjadi ibadah umat. Musa adalah seorang tokoh yang dianggap sebagai
peletak dasar dari ibadah umat yang diorganisir, dan yang menjadikan Jahwe
sebagai alamat ibadah satu-satunya. Ibadah umat diorganisir di dalam Kemah
Pertemuan, dan upacaranya dipandang sebagai “pelayanan suci” dari pihak umat
untuk memuji Tuhan.
Pada perkembangan selanjutnya, setelah
Kemah Pertemuan, lahirlah Bait Suci dan Sinagoge sebagai tempat ibadah bagi
Israel. Perkembangan ini didasari oleh pemahaman bahwa ibadah adalah merupakan
faktor penting dalam kehidupan Nasional Jahudi. Bait Suci dihancurkan oleh Babel,
dibentuk kebaktian Sinagoge karena pelaksanaan ibadah tetap dirasakan sebagai
kebutuhan penting.
Disamping tempat ibadah, orang Jahudi
juga memiliki kalender tahunan untuk upacara agamawi. Diantaranya yang amat
penting adalah : Hari Raya Paskah (Kel. 12:23-27), Hari Raya Perdamaian (Im. 16
: 29 – 34), Hari Raya Pentakosta (bd. Kis.2), Hari Raya Pondok Daun, dan Hari
Raya Roti Tidak Beragi (Kel.12:14-20).
Pemimpin ibadah di Bait Suci dan
Sinagoge adalah para Imam. Mereka adalah keturunan Lewi yang telah dikhususkan
untuk tugas pelayanan ibadah. Para imam memimpin ibadah umat pada setiap hari
Sabat dan pada Hari Raya agama lainnya. Ibadah di Sinagoge terdiri dari :
Shema, doa, pembacaan Kitab Suci dan penjelasannya.
Ibadah juga berkaitan dengan kewajiban-kewajiban
agama, yakni perintah-perintah Tuhan (pbd. Ul.11:8-11). Jadi, pada hakekatnya
ibadah bukanlah hanya merupakan pelaksanaan upacara keagamaan di tempat-tempat
ibadah, akan tetapi adalah mencakup pelaksanaan kewajiban agama, seperti :
sunat, puasa, pemeliharaan Sabat, torat dan doa. Dengan demikian, ibadah juga
harus mengandung makna bagi hidup susila.
Dalam Perjanjian Lama ada beberapa contoh ibadah pribadi (Kej.24:26; kel.
33:9-34:8). Tapi tekanannya adalah pada ibadat dalam jemaat (Mzm 42:4; I Taw
29:20). Dalam kemah pertemuan dan dalam Bait Suci tata upacara ibadah adalah
yang utama. Terlepas dari korba-korban harian setiap pagi atau sore, perayaan
Paskah dan penghormatan Hari Pendamaian merupakan hal penting dalam kalender
tahunan Yahudi. Upacara agamawi berupa pencurahan darah, pembakaran kemenyan,
penyampaian berkat imamat dan lain lain, cenderung menekankan segi upacaranya
sehingga mengurangi segi rohaniah ibadahnya, dan bahkan sering memperlihatkan
pertentangan antara kedua sikap itu (Mzm 40:6; 50:7-15; Mi. 6:6-8). Tapi banyak
ibadah di Israel yang dapat mengikuti ibadah umum misalnya di Mazmur 93;
95-100) dan doa –doa bersama misalnya Mazmur 60; 79; 80, dan memanfaatkanya
untuk mengungkapkan kasih dan syukur mereka kepada Allah (Ul 11:13) dalam
tindakan ibadah rohani batiniah yang sungguh-sungguh.
Ibadah umum yang sudah demikian
berkembang yang dilaksanakan dalam kemah pertemuan dan Bait Suci, berbeda
sekali dari ibadah pada zaman yang lebih awal ketika para Bapak leluhur
percaya, bahwa Tuhan dapat disembah di tempat mana pun Dia dipilih untuk
menyatakan diriNya. Tapi bahwa ibadat umum di bait Suci merupakan realitas
rohani, jelas dari fakta bahwa ketika tempat suci itu dibinasakan, dan
masyarakat Yahudi terbuang di babel, ibadat tetap merupakan kebutuhan dan untuk
memenuhi kebutuhan itu ’diciptakanlah’ kebaktian sinagoge, yang terdiri dari:
1. Shema’
2. Doa-doa
3. Pembacaan Kitab Suci
4. Penjelasan
Tapi kemudian di Bait Suci yang kedua
kebaktian-kebaktian harian, sabat, perayaan-perayaan tahunan dan puasa-puasa,
serta pujian dan buku puji-pujian memastikan, bahwa ibadah tetap merupakan
faktor amat penting dalam kehidupan nasional Yahudi.
Alkitab menunjukkan kepada kita bahwa
ibadah secara mendasar adalah merupakan satu respons sebagai pribadi atau
sebagai jemaat kepada perbuatan Allah yang Mahatinggi. Pola ini dapat ditemukan
di dalam Alkitab sebagai berikut; Allah yang Mahakuasa bertindak atas nama umat
Allah; umat Allah berespons dengan ucapan syukur dan pujian; Allah menerima
tindakan ibadah mereka. Pola ini secara konsisten dapat ditemukan di dlam
seluruh bagian Alkitab, dengan titik pusat kebenarannya adalah di dalam ibadah,
Allah adalah inisiator. Atau dengan kata lai, ibadah adalah satu respons
manusia kepada inisiatif Allah.
Ekspresi ibadah dalam Perjanjian Lama
dapat ditemukan dalam kisah pemanggilan Abraham sebagai Bapak bangsa-bangsa.
Panggilan Abraham disertai janji-janji berkat Allah seperti kemasyuran,
pengaruh, keturunan dan pemilik tanah. Sebagai respons Abraham terhadap janji-janji
ini, Abraham menyembah Allah dengan membuat mezbah (Kej. 12:7-8; 13:18). Dan
mempersembahkan kurban (Kej. 15:1-11; 22:13-14). Kemudian juga ketika Nuh
keluar dari bahtera setelah Air Bah tindakan pertamanya adalah membangun mezbah
dan beribadah kepada Tuhan (Kej. 8:20) ini merupakan catatan pertama di
Perjanjian Lama tentang ibadah kepada Tuhan melalui korban penumpahan darah di
atas mezbah. Persembahan korban bakaran kemudian dinyatakan sebagai korban
persembahan (Im. 1:1-7). Selanjutnya dalam kisah
keluarnya bangsa Israel dari Mesir, ibadah mejadi dasar dan sebagai blueprint
untuk semua bentuk ibadah masa depan. Allah menyelamatkan umat-Nya dari
perbudakan adalah peristiwa penting dalam Perjanjian Lama. Inilah salib dan
kebangkitan dalam Perjanjian Lama yang digenapi di dalam Perjanjian Baru. Keluaran telah memberikan kepada Israel beberapa jalan
untuk beribadah kepada Allah. Ekspresi utama termasuk mempersembahkan korban
binatang pada Paskah (Kel.12:1-28), mempersembahkan semua yang sulung atau pertama
lahir kepada Tuhan menjadi milik Tuhan (Kel.13:1-2), dan menyanyikan
puji-pujian dengan sorak sorai dan penuh kemenangan yang dipimpin oleh Musa dan
Miriam (Kel.15:1-21).
Di Gunung Sinai Allah menentukan tiga
hari raya yang harus diadakan dalam rangka mempersembahkan ibadah kepada Allah
setiap tahun. Pertama, hari raya roti tidak beragi, kedua, hari raya menuai dan
ketiga, hari raya pengumpuan hasil (Kel.23:14-19). Perintah ini telah tertanam
di dalam kesadaran umat Tuan bahwa ibadah melibatkan pengertian waktu yang
kudus.
Kemudian pertemuan Allah dengan Musa,
Harun, Naab dan Abihu an tujuh puluh tua-tua Israel di Gunung Sinai
(Kel.24:1-8) adalah bagian penting. Ini adalah pertemuan antara Allah dan
Israel. Pertemuan ini berisi struktur elemen-elemen dasar bagi pertemuan antara
Allah dan umat-Nya. Elemen-elemen ini sangat penting
bagi ibadah umum, yang kemudian akan ditentukan detailnya dalam ibadah Yahudi
dan Kristen. Selanjutnya Webber mengemukakan ada lima elemen, yaitu:
Pertama, ibadah aalah pangilan Allah. Allah yang
memanggil umat-Nya untuk bertemu dengan-Nya;
Kedua, Umat Tuhan diatur dalam satu
tanggungjawab terstruktur. Artinya ada yang bertanggungjawab. Musa adalah
pemimpin. Tetapi untuk mengatur ibadah dan lain-lainnya adalah tugas Harun,
Nadab, Abihu. 70 tua-tua Israel, pemuda dan umat. Dengan kata lain, elemen
kedua adalah soal partisipasi dalam ibadah;
Ketiga, pertemuan antara Allah dan Umat
bersifat proklamasi Firman. Allah berbicara kepada umat-Nya dan memperkenalkan
diri-Nya kepada mereka. Hal ini berarti ibadah belumlah lengkap tanpa mendengar
Firman Tuhan;
Keempat, umat setuju dan menerima perjanian
dengan syarat-syaratnya yang memberi makna kepada komitmen umat secara
subjektif untuk mendengar dan taat kepada Firman Allah. Dengan kata lain, aspek
penting dalam ibadah disini adalah pembaharuan komitmen pribadi secara
terus-menerus. Di dalam ibadah umat Tuhan membaharui janji yang telah ada
antara Allah dan umat-Nya sendiri;
Kelima, puncak hari pertemuan itu ditandai
dengan symbol pengesahan, satu materai perjanjian. Dalam Perjanjian Lama Allah
selalu menggunakan darah korban sebagai materai hubungan-Nya dengan manusia.
Pengorbanan ini menunjuk kepada korban Yesus Kristus.
Dengan demikian Allah adalah pusat
ibadah Perjanjian Lama. Umat Tuhan atau manusia beribadah adalah sebagai
respons dalam ucapan syukur kepada karya Allah di dalam hidup manusia.
BAB III
KESIMPULAN
Allah sendirilah yang membuat ibadah
dimungkinkan ada. Dalam anugerah-Nya, Ia mengundang penyembahan manusia tertuju
kepada -Nya. Ibadah selalu berfokus tunggal yaitu ketika Allah bertindak
menyatakan kasih-Nya kepada kita dan Ia jugalah yang mendorong tanggapan kita
atas semua pernyataan kasih-Nya.
Ibadah adalah jawaban manusia terhadap
panggilan Allah, terhadap tindakan-tindakan-Nya yang penuh kuasa yang berpuncak
pada tindakan pendamaian dalam Kristus. Ibadah adalah kegiatan puji-pujian
dalam penyembahan yang mensyukuri kasih Allah yang merangkul kita dan kebaikan
kasih-Nya yang menebus kita dalam Kristus, Tuhan kita.
Ibadah (baca; kebaktian) adalah suatu
‘bakti’ dan persembahan kepada Allah. Persembahan yang dinaikkan bukan sekedar
ritus batiniah tetapi persembahan yang juga dihaturkan dari tengah pergumulan
kehidupan sesehari yang nyata. Pengudusan manusia oleh Allah dan pemuliaan
Allah oleh manusia, keduanya merupakan karakteristik dalam ibadah. Ibadah yang
sejati tidak hanya terbatas pada ritual-ritual keagamaan. Atau sebatas misalnya
pergi ke gereja, ikut persekutuan ini dan itu. Betul, semua itu adalah ibadah.
Namun tidak hanya sebatas itu. Ibadah yang sejati juga menyangkut kehidupan
sehari-hari, kapan saja dan di mana saja. Dan yang menjadi pusat ibadah adalah Allah.
DAFTAR PUSTAKA
A. Cronbach, Worship in Old
Testament, dalam The Interpreter’s Dictionary of the Bible. Editor by
G.A. Buttrick, R-2, Nashville, Abingdon Press, 1982.
Alkitab, Lembaga Alkitab Indonesia, Jakarta, 1974
Bible Dictionary, Leicester: Inter-Varsity Press,
1967.
J. D. Douglas, Ensiklopedia
Alkitab Masa Kini, YKBK/OMF, Jakarta 2004
Paul Basden, The Worship Maze,
Downers Grove, Illionis Inter Varsity Press, 1999
Paul Enns, The Moody Handbook
Of Theology: Buku Pegangan Teologi, Literatur SAAT, Malang, 2006
Robert E. Webber, Worship Old
& New, Grand Rapids, Michigan: Zondervan Publishing House, 1982
William
Dyrness, Tema-Tema Dalam Teologi Perjanjian Lama, Gandum Mas,
Malang, 2004
A. Cronbach, Worship in Old
Testament, dalam The Interpreter’s Dictionary of the Bible. Editor by G.A.
Buttrick, R-2, Hal. 879. Nashville, Abingdon Press, 1982.
Paul Enns, The Moody Handbook Of
Theology: Buku Pegangan Teologi, Literatur SAAT, Malang, 2006, hal. 54
Robert E. Webber, Worship Old
& New, Grand Rapids, Michigan: Zondervan Publishing House, 1982. hal.
24.
No comments:
Post a Comment